Paper
Entrepreneur dan Industrialisasi:
Menuju Struktur Ekonomi yang Kokoh
1.1 Latar Belakang
Dalam teori ekonomi dikatakan bahwa, majunya perekonomian ditandai dengan adanya kegiatan produksi suatu barang. Produksi tersebut dapat berupa barang dan jasa. Sebagai contoh, masyarakat tani di desa yang memproduksi beras tidak mengkonsumsi sendiri hasil-hasil pertaniannya, namun juga dijual kepada orang lain untuk mencukupi kehidupannya sehari-hari. Orang-orang yang membeli hasil komoditas pertanian tersebut disebut enterpreneur. Mereka melakukan para pengusaha yang melakukan ekspansi usaha diwilayah pertanian.
Dalam kegiatan perekonomian, produsen baik barang maupun jasa menjual produk-produknya untuk ditukarkan dengan uang. Pada tahap ini, mereka telah berorientasi kepada uang atau pendapatan. Tentunya mereka ingin membeli produk-produk yang lain untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Proses perputaran uang tersebut pada nantinya akan menghasilkan suatu kegiatan ekonomi yang saling bersinergi. Kebutuhan yang satu dicukupi oleh kebutuhan yang lain.
Membangun perekonomian suatu negara dengan basis industrialisasi merupakan hal yang tidak bisa dielakkan. Industrialisasi bukanlah tujuan akhir, melainkan hanya merupakan salah satu strategi yang harus ditempuh untuk mendukung proses pembangunan ekonomi guna mencapai tingkat pendapatan perkapita yang tinggi.[1] Meskipun pelaksanaanya sangat bervariasi antarnegara, periode industrialisasi merupakan tahapan logis dalam proses perubahan struktur ekonomi. Tahapan ini diwujudkan secara historis melalui kenaikan kontribusi sektor industri manufaktur dalam permintaan konsumen, produksi ekspor, dan kesempatan kerja.[2]
Dalam konteks Indonesia dengan sistim ekonomi campurannya terbuka peluang yang lebar bagi pengembangan ekonomi strukturalnya. Keuntungan struktur ini dapat dimanfaatkan oleh warganya dalam memenuhi kebutuhan ekonominnya. Berdasarkan realitas di lapangan tanpa memandang sistim ekonomi apa yang dipakai oleh Indonesia maka di Indonesia terdapat dua katup dalam kepemilikan dan pengelolaan sumber-sumber daya produktif yang ada. Kepemilikan dan pengelolaan dilakukan oleh sektor pemerintah dan sektor swasta. Berbeda dengan sisitim perekonomian pasar dimana pengeloaan dan kepemilikan sumber daya ekonomi dimiliki sepenuhnya oleh swasta. Di Indonesia paling tidak dikenal empat bentuk kepemilikan swasta. Meminjam pendapat dari Todaro, model tersebut yakni;
- Sektor subsisten tradisional, yakni yang terdiri dari kepemilikan usaha-usaha pertanian yang berskala kecil dan took-toko kerajinan tangan yang menjual sebagian produknya ke pasar-pasar lokal.
- Unit-unit usaha kecil milik keluarga yang bergerak dalam penyediaan barang dan jasa-jasa secara kecil-kecilan yang sekadar cukup untuk mengisi sektor-sektor formal dan informal di daerah-daerah perkotaan.
- Perusahaan-perusahaan komersial yang berukuran menengah dalam bidang pertanian, industri, perdagangan, dan pengangkutan yang dimiliki dan dioperasikan oleh kalangan wiraswastawan setempat.
- Perusahaan-perusahaan industri besar dengan modal patungan atau yang seluruh modalnya bersumber dari luar negeri, seperti perusahaan yang bergerak disektor pertambangan dan perkebunan, yang membutuhkan modal besar dan sebagian besar atau seluruh outputnya dilemparkan ke pasar-pasar luar negeri (hanya sisanya dijual ke pasar-pasar domestik). Oleh karena modal perusahaan ini berasal dari luar negeri, maka sebagain keuntungannya akan dikirim lagi ke luar negeri.[3]
Dalam kondisi sekarang maupun yang akan datang, kehadiran entrepreneur di Indonesia sangat diharapkan. Entrepreneur-entrepreneur inilah yang menjadi penyokong dari lahirnya industrialisasi. Mengembangkan jumlah entrepreneur pada nantinya akan memperkokoh perekonomian suatu negara.
Perekonomian negara diukur dengan produk domestik bruto (PDB) yang pada dasarnya merupakan penjumlahan nilai tambah yang dihasilkan seluruh unit usaha atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. Untuk menjaga agar kondisi ekonomi suatu negara dapat stabil, maka yang biasanya dulakukan adalah tiga hal yakni pembangunan pada basis sektor riil, pengurangan angka kemiskinan dan pengurangan pengangguran. Pada suatu negara kondisi kemiskinan biasanya saling terkait dengan pengangguran. Di negara berkembang sosok entrepreneur diperlukan untuk membangun sebuah struktur perekonomian yang kokoh. Semakin banyak penguasaha di suatu negara maka semakin banyak pula rakyat yang dapat diselamatkan dalam bidang ekonomi.
1.2. Permasalahan (Fokus Pembahasan)
Berdasarkan latar belakang diatas maka yang menjadi permasalahan dan fokus pembahasan dalam tulisan ini adalah bagaimana implikasi dari relasi entrepreneur dengan industrialisasi dapat menjadikan perekonomian suatu negara berdiri dengan kokoh. bagaimana dan dengan cara seperti apa jiwa-jiwa entreprenenur dapat terbentuk?
BAB II
PEMBAHASAN
Untuk sampai lebih jauh mengenai pembahasan tema ini, akan dibahas terlebih dahulu mengenai kajian teori yang relevan. Bagaimana kehadiran entrepreneur dalam proses pembangunan industrial bisa dijelaskan dengan perspektif yang memadai. Selanjutnya bab ini juga akan membahas mengenai konsep entrepreneur dan proses industrial sebagai kata-kata kunci pembangunan. Pembangunan dengan konsep pertumbuhan tidak bisa dilepaskan dari proses industrialisasi terutama industri-industri manufaktur. Bagaimana peran entrepreneur dalam mendukung gagasan besar industrialisasi dalam konteks Indonesia, dan juga bagaimana relevansi entrepreneur terhadap peningkatan dan pembentukan struktur ekonomi yang kokoh. Hal apa saja yang perlu dipersiapkan dalam menyuplai kebutuhan entrepreneur.
2.1 Soal Dorongan Berprestasi (n-Ach) dan Kehadiran Entrepreneur
Apabila dicermati, entrepreneur merupakan sesuatu yang dapat dipelajari dan dapat diubah. Banyak orang berpendapat bahwa entrepreneur atau kewirausahaan merupakan sesuatu yang given sehingga sulit bagi orang lain untuk berkompetisi. Padahal, pada kenyataan yang sesungguhnya, entrepreneur adalah sama juga dengan keahlian yang lain seperti dokter, pengacara, kontraktor dan sebagainya yang bisa dipelajari apabila terdapat kemauan yang keras dalam mempelajarinya.
Entrepreneur dalam sebuah masyarakat dalam sudut pandang ekonomi berperan dalam rangka optimalisasi pertumbuhan ekonomi dalam bingkai industrial. Dalam kajian lebih jauh, untuk dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi maka masyarakat tersebut haruslah mempunyai dorongan untuk berprestasi. Konsep ini dinamakan n-Ach (need for Achievement). Adalah David McClelland yang mengutarakan hal ini. Orang dengan n-Ach yang tinggi, yang memiliki suatu kebutuhan untuk berprestasi mengalami kepuasan bukan karena mendapatkan imbalan dari hasil kerjanya, tetapi karena hasil kerja tersebut dianggapnya sangat baik. Apabila pekerjaannya selesai, si aktor akan mempunyai kepuasan batin tersendiri. Perspektif ini meyakini imbalan material adalah faktor sekunder.[4]
Dalam keyakinan teori ini, semakin banyak orang yang mempunyai dorongan kuat untuk berprestasi maka akan semakin banyak karya-karya monumental yang akan tercipta. Suasana dan dorongan untuk berprestasi semakin menegaskan cita-cita dan arah yang akan ditempuh. Untuk memperkuat argument teori ini, maka McClelland melakukan sebuah penelitian sejarah dengan cara mempelajari dokumen-dokumen kesusasteraan dari zaman Yunani kuno. Karya sastra yang dipelajari adalah puisi, drama, pidato penguburan, surat yang ditulis oleh nahkoda kapal, kisah epik dan sebagainya. Karya-karya tersebut dinilai oleh para ahli yang netral. Apabila karya-karya tersebut menunjukkan optimisme yang tinggi, keberanian untuk mengubah nasib dan tidak cepat menyerah, maka karya tersebut mempunyai nilai n-Ach yang tinggi. Kalau tidak menunjukkan maka nilainya dianggap kurang. Dari hasil penilaian ternyata didapati bahwa pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi selalu didahului oleh nilai n-Ach yang tinggi dalam karya sastra yang ada ketika itu. Kalau karya tersebut menunjukkan n-Ach yang rendah pertumbuhan ekonominya kemudian menunjukkan angka yang menurun.[5]
Secara teoritik, pendekatan ini lebih menekankan pada aspek-aspek psikologi individual. Menurut teori ini, mendorong proses pembangunan berarti juga membentuk manusia wiraswasta dengan n-Ach yang tinggi. Caranya adalah dengan pendidikan individual terutama didalam kehidupan keluarga. Kalau manusia entrepreneur ini bisa dibentuk dalam jumlah yang banyak dalam masyarakat maka pembangunan akan menjadi kenyataan.
2.2 Bert F. Hoselitz : Masalah Faktor-faktor Non-ekonomi
Hoselitz membahasa faktor-faktor non-ekonomi sebagai pelengkap dari teori Rostow tentang lima tahap pembangunan. Kelima tahap tersebut adalah masyarakat tradisional, prakondisi untuk lepas landas, tahap lepas landas, tahap bergerak ke kedewasaan, dan tahap terakhir adalah masyarakat konsumsi tinggi. Hoselitz membahas faktor-faktor nonekonomi yang kurang mendapat perhatian dari Rostow. Faktor tersebut oleh Hoselitz disebut sebagai faktor kondisi lingkungan dan juga perubahan kelembagaan. Faktor ini dianggap penting dalam proses pembangunan. Dalam perspektifnya Hoselitz melihat adanya faktor yang lebih penting dalam pembangunan daripada kekurangan modal yakni adanya ketrampilan kerja tertentu, termasuk dalam hal ini adalah adanya tenaga wiraswasta yang tangguh.
“Kondisi lingkungan ini harus dicari terutama dalam aspek-aspek non-ekonomi dari masyarakat. Dengan kata lain, lepas dari pengembangan modal seperti pembangunan sarana sistim komunikasi serta transportasi dan investasi dalam fasilitas pelabuhan, pergudangan, dan instalasi-instalasi sejenis untuk perdagangan luar negeri, banyak dari pembaruan-pembaruan yang terjadi pada periode persiapannya didasarkan pada perubahan-perubahan pengaturan kelembagaan yang terjadi dalam bidang hukum, pendidikan, keluarga dan motivasi.”[6]
Menurut Hoselitz, proses pembangunan membutuhkan pemasokan dari beberapa unsur-unsur yakni pemasokan modal besar sekaligus perbankan serta pemasokan tenaga ahli dan terampil. Tenaga yang dimaksud adalah tenaga kewiraswastaan, administrator profesional, insinyur, ahli ilmu pengetahuan dan tenaga manajerial yang tangguh. Menurut Hoselitz agar kalangan entrepreneur dapat tumbuh maka dibutuhkan masyarakat dengan kebudayaan tertentu. Kebudayaan yang dimaksud adalah prinsip bahwa mencari kekayaan bukanlah sesuatu yang buruk. Suasana seperti ini yang mendorong jiwa-jiwa entrepreneur dapat muncul. Sebab, budaya menurut Hoselitz dapat mendorong orang melakukan akumulasi modal dengan subur.
2.3 Entrepreneur
“…Setelah berulangkali mencoba, Santoso berhasil mendapat indukan bebek hasil persilangan bebek dari Inggris dan bebek Mojosari, Jawa Timur. Hasil persilangan itu ia namakan bebek Santos. Indukan bebek Santos lalu ia silangkan dengan entok untuk menghasilkan varian baru yang ia beri nama “tiktok.” Untuk memajukan rumah makannya, Tiktok Van Depok, Santoso kini menggandeng peternak kecil di daerah untuk membudidayakan tiktok. Bagi peternak yang tidak mempunyai modal, Santoso membagikan indukan tiktok. Setelah tiktok berumur 1,5-2 tahun, Santoso membeli kembali tiktok itu dari para peternak. Santoso kini tengah menyiapkan sistim untuk membuka waralaba Tiktok Van Depok. Dengan waralaba itu, ia ingin membuka lapangan kerja dan usaha serta memberdayakan para peternak kecil di daerah.”[7]
Narasi diatas merupakan sepenggal cerita mengenai bagaimana seharusnya sikap atau jiwa entrepreneur ditumbuhkan dalam menghadapi tekanan ekonomi. Santoso dalam narasi diatas adalah seorang Arsitek lulusan Universitas Indonesia. Awalnya ia berbisnis konstruksi. Gara-gara krisis finansial yang terjadi pada tahun 1998, akhirnya bisnisnya ikut hancur. Hal ini membuat penyakit lamanya yakni, jantung dan kolesterol kambuh kembali. Karena sering kambuh, sang istri, Sumiati, bertanya kepada sang dokter apakah ada cara lain selain obat untuk menyembuhkan sakit suaminya. Lantas sang dokter menganjurkan untuk makan ikan air tawar dan daging bebek karena kolesterolnya rendah. Santoso ternyata tidak tahan dengan bau amis daging bebek, lalu untuk mensiasatinya dengan menyilangkannya dengan berbagai jenis bebek. Akhirnya daging yang tidak amis berhasil ia temukan melalui hasil persilangan antara bebek Santos dengan entok yang disebut dengan “tiktok.”
Tulisan ini akan mencoba memaparkan bagaimana jiwa entrepreneur atau naluri bisnis bisa menyelamatkan keluarga dari jurang kemiskinan. Bahkan dalam cerita diatas malahan bisa memberdayakan masyarakat lain untuk bisa lebih produktif. Dengan berbekal semangat entrepreneur yang dimiliki, ia telah mampu mencukupi kebutuhan keluarga dan juga keluarga-keluarga lain yang masuk ke dalam jaringan bisnisnya. Dalam kaitan diatas, Santoso merupakan sosok entrepreneur meskipun dalam wilayah sektor informal. Dia mampu berkreasi dan berinovasi untuk menghasilkan sesuatu yang sama sekali baru untuk kemudian dijual ke pasar. Tindakan ekonomi yang dilakukan Santoso bisa dikatakan sebagai sebuah tindakan ekonomi yang produktif. Apabila perekonomian suatu masyarakat produktif, maka perekonomian negara tersebut juga akan produktif. Jiwa-jiwa yang seperti inilah yang dibutuhkan untuk membangun Indonesia ke depan.
Istilah entrepreneur dalam bidang ekonomi sudah dikenal orang sejak tahun 1755. Istilah entrepreneur diperkenalkan oleh Richard Cantillon dalam bukunya berjudul “Essai Sur La Nature Du Commerce en General.” Entrepreneur menurut Cantillon adalah seorang yang membayar harga tertentu, untuk kemudian dijualnya dengan harga tidak pasti, sambil membuat keputusan-keputusan tentang upaya mencapai dan memanfaatkan sumber-sumber daya, dan menerima risiko berusaha.[8]
Entrepreneur merupakan pelaku perubahan yang mentransformasikan sumber-sumber daya menjadi barang-barang dan jasa-jasa bermanfaat yang berdampak pada timbulnya pertumbuhan industrial. Di sini peran manajer melihat sumber daya yang tidak bermanfaat langsung bagi manusia ditransformasikan menjadi produk-produk yang bernilai tinggi yang langsung memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia dan hal tersebut merupakan teori klasik tentang produksi.[9]
Entrepreneur pada dasarnya adalah bagaimana menafaatkan peluang usaha yang ada dan bagaimana melakukan inovasi terhadap peluang-peluang tersebut. Apabila dalam suatu negara terdapat banyak orang yang melakukan kegiatan ekonomi produktif, maka semakin banyak tenaga kerja yang mampu ditampung oleh negara tersebut. [10] Industri manufaktur, industri hilir, usaha kecil dan menengah, industri pertanian, industry jasa dan bahkan sector informal merupakan segelintir bidang yang dapat diproduktifkan. Masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahannya masing-masing.
Permasalahan adalah, bagaimana hal itu semua dimulai? Hal ini adalah fase yang cukup sulit. Tidak mudah memang memulai sesuatu dari hal yang tidak biasa digeluti. Hal itu didasarkan pada argumentasi bahwa entrepreneur adalah permasalahan bakat. Argumentasi tersebut tidak bisa disalahkan, namun juga tidak sepenuhnya benar. Pada dasarnya masalah entrepreneur adalah sesuatu yang bisa dipelajari oleh setiap orang. Beberapa cerita sukses menyatakan bahwa seorang pengusaha yang sukses berawal dari sesuatu yang berseberangan dengan profesi tersebut.[11]
Seorang entrepreneur bergerak harus berdasarkan rencana bisnis yang matang. Beberapa hal yang patut dipertimbangkan adalah karakteristik dan besarnya segmen pasar, syarakt-syarat produksi, rencana finansial, rencana organisasi, dan syarat-syarakat finansial. Sebuah rencana bisnis penting untuk mengembangkan peluang yang ada.
Negara akan makmur apabila didalamnya terdapat entrepreneur yang cukup solid. David McClelland berpendapat suatu negara akan menjadi makmur apabila sedikitnya mempunyai sebanyak dua persen dari jumlah penduduk. Singapura menurut laporan Global Entrepreneurship Monitor (GEM) memiliki entrepreneur sebanyak 7,2 persen dari total penduduk. Sedangkan di Indonesia diperkirakan hanya memiliki 400 ribu entrepreneur atau sekitar 0,18% dari populasi. Dengan jumlah penduduk sebesar 220 juta jiwa, Indonesia membutuhkan 4,4 juta entrepreneur .[12]
Entrepreneur bukanlah sebuah bakat, namun disitu membuka peluang pembelajaran bagi siapa pun yang mempunyai kecenderungan. Bakat yang besar tanpa latihan yang sistematis dan terprogram dengan baik tidak akan mampu membuat bakat tersebut menjadi sesuatu yang menguntungkan. Salah satu pembelajaran dan latihan bagi terbentuknya sosok entrepreneur adalah dengan jalan pendidikan entrepreneur. Pendidikan entrepreneur merupakan harapan bagi generasi-generasi yang unggul yang mampu menjadi tulang punggung perekonomian negara.
2.4 Pengembangan dan Pendidikan Entrepreneur
Pengembangan dan pendidikan entrepreneurship akan berdampak positif terhadap negara, apabila terdapat kesungguhan pengelolaannya. Untuk saat ini, Indonesia masih kekuarangan sebanyak 4 juta entrepreneur. Sebuah jumlah yang cukup besar yang menantang untuk segera dipenuhi. Sebetulnya, mendidik seseorang untuk menjadi seorang entrepreneur dalam arti yang sesungguhnya bukan hanya sekadar mengetahui akan teori-teori atau memiliki kecakapan-kecakapan. Dalam hal ini, pendidikan entrepreneur mengarahkan proses pendidikannya pada pembangunan jiwa-jiwa entrepreneur. Tujuan akhir dari program pendidikan ini adalah seseorang menjadi mantap dan penuh keyakinan memilih profesi entrepreneur dalam hidupnya. Apabila entrepreneur telah menjadi jiwa bagi seseorang, maka orang tersebut akan tahan terhadap ujian dan akan mampu menghasilkan karya yang bermanfaat bagi orang lain.
Pendidikan dan pengembangan entrepreneur berlandaskan prinsip umum yang sesuai dengan keadaan manusia atau masyarakat itu sendiri. Pada dasarnya semangat, sikap, perilaku dan kinerja seseorang ataupun kelompok orang merupakan hasil interaksi yang dinamis antara tiga unsur yakni kemauan, kemampuan dan kesempatan. Kemauan dan kemampuan kewirausahaan sedikit banyak dipengaruhi oleh faktor keturunan dan bakat, tetapi faktor yang paling dominan adalah pengaruh dari interaksi dan kemampuan. Dengan kata lain, kewirausahaan itu lebih merupakan sesuatu yang bias dipelajari dan dikembangkan daripada sesuatu yang diwarisi.
Penumbuhan dan pengembangan kewirausahaan yang optimal terjadi apabila proses itu dilakukan seumur hidup. Proses tersebut akan lebih tepat apabila dilakukan pada usia balita sampai usia 24 tahun. Semangat, sikap dan perilaku kewirausahaan termasuk kebutuhan yang tingkatnya tersier. Dalam konteks teori motivasi yang dikembangkan oleh McClelland: semangat, sikap, dan perilaku kewirausahaan masuk kedalam kebutuhan aktualisasi diri. Yang lebih kuat bakatnya untuk menjadi wirausaha adalah yang kebutuhannya akan keberhasilan atau “Need For Achievement (n ach)” sangat tinggi. [13]Selanjutnya bagi McClelland pembangunan adalah identik dengan membentuk manusia wiraswasta dengan n-Ach yang tinggi. Cara pembentukannya adalah melalui pendidikan individual ketika mereka masih anak-anak di lingkungan keluarga mereka. Kalau manusia wiraswasta ini dapat dibentuk dalam jumlah yang banyak, maka proses pembangunan dalam masyarakat tersebut akan menjadi kenyataan.[14]
2.5 Strategi
Program pendidikan entrepreneur seyogyanya dilakukan secara terencana dan sistimatis. Program pendidikan dan pengembangan entrepreneur merupakan proyek besar dan prestius sehingga harus didukung oleh semua elemen bangsa. Program ini harus didukung setidaknya oleh pemerintah, organisasi nonpemerintah, kelompok akademis, masyarakat bisnis dan masyarakat umum. Kelima kelompok ini merupakan modal awal bagi terciptanya pendidikan entrepreneur yang holistik.
Strategi pengembangan dan pendidikan entrepreneur dalam hal ini terbagi menjadi dua yakni secara tradisional dan secara modern. Secara tradisional setidaknya ada empat cara, yaitu;
- 1. Magang cara Minang
Dalam proses ini seorang calon entrepreneur bekerja “full time” kepada mereka yang terlebih dahulu “berhasil.” Pada masa magang ini calon entrepreneur memperoleh pengetahuan dan pengalaman bidang usaha tertentu. Ada beberapa prinsip dalam magang cara minang ini, yakni;
- Para calon entrepreneur yang bekerja magang, tidak dianggap sebagai buruh dari suatu perusahaan, melainkan diperlakukan sebagai mitra usaha.
- Pada umumnya tidak dikenal sistim upah/gaji. Kebutuhan-kebutuhan sehari-hari seperti sandang, pangan dan papan dipenuhi oleh pengusaha tempat magang. Pada periode satu tahun diadakan perhitungan keuntungan yang akan dibagi hasilnya. Biasanya pengusaha mendapatkan 70% dari keuntungan sedangkan pemagang akan mendapatkan sisanya yaitu 30%. Dari hasil 30% ini, calon entrepreneur menyisihkan separuh untuk menanam saham di tempat ia magang atau ditabung sebagai modal usaha.
- Para pedagang Minang dibudayakan untuk senantiasa tekun, jujur, ulet/gigih dan saling percaya.
- Para pemagang yang telah berhasil dalam usahanya, mempunyai kewajiban cultural dalammembina generasi berikutnya.
- 2. Magang cara Cina
Pembinaan dilakukan dengan cara memperlakukan anak penguwsaha sebagai buruh atau karyawan yang diberi upah atau gaji. Setelah dalam waktu tertentu magang di tempat usaha orang tua, calon entrepreneur “dilepas” untuk berusaha sendiri. Sang pemagang akan mendapatkan modal dari orang tua atau familinya. Keunikan pada magang cara Cina adalah dari sisi pembinaan segi permodalannya. Jika calon entrepreneur “gagal” dalam memulai usahanya, maka akan diberikan modal berikutnya dengan catatan bahwa kegagalannya bukan karena kelalaian atau sikap boros. Pemberian modal berturut-turut dilakukan sampai lima kali.
- 3. Magang pola pengecer keliling
Pola ini kebanyakan dilakukan oleh para pengusaha dari Pantai Utara Pulau Jawa (pantura). Umumnya mereka mengusahakan barang dagangan berupa makanan jadi dan/atau kebutuhan sehari-hari. Misalnya, pedagang bakso keliling. Gerobak bakso dan peralatannya biasanya disediakan oleh pengusahanya. Pemagang diposisikan sebagai buruh atau tenaga yang menyetor penghasilan setiap hari. Setoran harian tersebut biasanya dibarengi dengan sejumlah “cicilan.” Apabila cicilan tersebut telah dianggap mencukupi, maka gerobak bakso telah berpindah tangan menjadi milik pemagang.
- 4. Magang dengan pola usaha angkutan dan sekotor jasa lainnya.
Model magang pada jenis ini menuntut kerja keras bagi calon entrepreneur. Mula-mula sang calon pengusaha melakukan magang dengan menjadi “kondektur” dari sebuah angkutan. Setelah beberapa lama, calon entrepreneur mulai belajar mengemudi sampai memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM). Setelah dapat mengemudi, calon entrepreneur beralih profesi menjadi pengemudi. Selama mengemudi, ia melakukan penghematan pengeluaran dan menabung. Pada gilirannya mobil angkutan tersebut akan menjadi miliknya.
Di negeri ini, mungkin akan banyak kita jumpai berbagai model magang yang intinya adalah membuat individu-individu dalam masyarakat menjadi terampil dan mandiri. Kemandirian dan ketrampilan merupakan prakondisi untuk bisa menjadi entrepreneur yang berhasil. Profesi entrepreneur membutuhkan pembelajaran dan praktik sehari-hari. Pembelajaran dapat dilakukan bukan hanya berasal dari tempat magang melainkan dari lingkungan dimana ia tinggal. Pengetahuan tidak hanya berasal dari “technical knowhow” tetapi juga pandangan, kebijaksanaan dan ide-ide guna menambah kepribadian.
Strategi selanjutnya adalah pandangan modern. Meminjam apa yang diketengahkan oleh Ciputra, tiga hal yang harus diimplementasikan bagi negara dalam pendidikan entrepreneurship adalah;
- Untuk pendidikan dasar (termasuk pendidikan usia dini) dan menengah adalah dengan jalan mengintegrasikan pembelajaran entrepreneurship ke dalam kurikulum nasional)
- Untuk pendidikan tinggi yaitu dengan jalan menciptakan dan mengembangkan entrepreneurship center hal ini paling tidak pada perguruan tinggi utama.
- Untuk masyarakat yaitu dengan jalan menciptakan gerakan nasional pelatihan kewirausahaan yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun masyarakat untuk menjangkau masyarakat luas yang berada diluar bangku sekolah.[15]
Selain pendidikan entrepreneur, faktor lain yang tidak kalah penting adalah bersatunya elemen-elemen negara dalam mensukseskan program pembangunan entrepreneur di Indonesia. Keempat elemen tersebut adalah pemerintah, masyarakat bisnis, dunia akademik dan masyarakat umum. Apabila keempat elemen tersebut dapat bersinergi dengan baik maka akan menciptakan iklim kewirausahaan yang kokoh pada level negara.
Analisis selanjutnya adalah pada penjabaran fungsi dari masing-masing elemen tersebut. Setiap elemen mempunyai kekuatan dan daya rubah yang cukup besar bagi transformasi masyarakat wirausaha yang diinginkan. Dalam konteks diatas, seperti yang diketengahkan oleh Ciputra peran dari masing-masing elemen adalah sebagai berikut. [16]Pertama, peran pemerintah. Pada proses ini pemerintah harus berperan aktif dalam menggerakkan program nasional budaya wirausaha, inisiatif dapat dilakukan dengan cara membuat kebijakan-kebijakan yang pro dengan dunia usaha seperti regulasi dan penganggaran khusus. Penganggaran dapat diambil dari pos pendidikan dan pos penanggulangan kemiskinan. Selain itu, pemerintah sedapat mungkin mengembangkan kelompok kerja khusus dengan keempat unsur diatas dengan membentuk Dewan Nasional Pengembangan Kewirausahaan. Tugas utama dari dewan ini adalah memastikan bahwa budaya entrepreneurship dan pendidikan kewirausahaan dapat disebarluaskan dan dilaksanakan di seluruh Indonesia.
Kedua, kelompok akademis. Peran dari unsur ini adalah mendorong dan mempercepat pengintegrasian pembelajaran entrepreneurship dalam kurikulum nasional mulai dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Disamping itu kalangan akademisi juga berperan sebagai pendorong bagi pendidikan entrepreneurship bagi warga kampus dan masyarakat serta dapat pula memberdayakan lulusan untuk menjadi entrepreneur.
Ketiga, masyarakat bisnis. Peran dari kelompok ini sangat vital, karena biasanya kelompok ini memiliki jaringan yang luas dengan dunia usaha. Beberapa peran yang dapat dimainkan oleh kelompok ini adalah; merintis terbentuknya komunitas mentor untuk melatih dan membimbing para calon entrepreneur, membentuk lembaga keuangan yang menyediakan fasilitas kredit untuk mendukung kehadiran usaha-usaha baru, mengembangkan pusat-pusat entrepreneurship di perusahaan-perusahaan sehingga dapat ikut melatih masyarakat.
Keempat, masyarakat umum termasuk didalamnya LSM, Media massa. Mereka berperan menciptakan jembatan social kepada beragam komponen masyarakat dalam menjelaskan pentingnya entrepreneurship. Peran lain yang tidak kalah penting untuk mereka mainkan adalah menyebarluaskan informasi dan menjadi motivator, menjaga nilai-nilai moral, mempromosikan etika bisnis dan etos kerja produktif.
2.6 Pembentukan Struktur Ekonomi yang Kokoh Melalui Entrepreneurship
Setelah kita membahas strategi bagi pengembangan entrepreneur, maka pembahasan selanjutnya adalah mengenai hubungan antara entrepreneur dengan struktur ekonomi yang kokoh. Sudah menjadi fakta yang tidak terbantahkan bahwasanya struktur ekonomi yang terjadi di negara-negara maju seperti AS dan Eropa Barat terjadi akibat proses industry yang berkembang dengan pesat. Apabila dicermati lebih jauh, orientasi industri mereka biasanya industry-industri manufaktur dengan skala yang besar. Atau dengan kata lain, pertumbuhan perusahaan-perusahaan besar merupakan ciri yang mencolok dari negara maju. Sebagai contoh lainnya adalah Cina, Jepang dan Rusia. Bahkan untuk Cina dan Jepang diprediksikan akan menjadi “penguasa” perekonomian di masa-masa mendatang. Mereka lebih efisien dan juga mempunyai teknologi tinggi sehingga output produksi bisa bersaing secara internasional dan bahkan mendominasinya.
Pengembangan industri skala besar di Indonesia secara teoritis akan berdampak positif terhadap kokohnya struktur ekonomi. Hal ini terjadi karena elastisitas penghasilan terhadap permintaan produk industry skala besar adalah tinggi, selain itu perkembangan industry memerlukan titik tumbuh yang bias menarik atau menimbulkan perkembangan jenis-jenis industry lain yang memakai dan mempergunakan produk industry yang telah dulu tumbuh. Dengan demikian industry besar akan memancing industry-industri lain untuk tumbuh dan berkembang.
Selain pertumbuhan ekonomi, proses industrialisasi juga akan berdampak meningkatnya pendapatan masyarakat. Banyak tenaga kerja produktif yang dapat diserap melalui industry-industri manufaktur yang ada. Dengan demikian, tenaga kerja yang berasal dari desa sebagai akibat dari proses urbanisasai dapat pula tertampung pada industry tersebut. Hal ini juga akan memperlihatkan pola konsumsi masyarakat yang berubah. fenomena ini bias diamati dari kecenderungan masyarakat terhadap perubahan selera untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Gairah ini akan berkolerasi positif dengan lancarnya perputaran roda ekonomi. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi dengan cirri utamanya proses industrialisasi akan mengaibatkan perubahan struktur ekonomi melalui peningkatan pendapatan masyarakat.
Sejarah telah membuktikan di mana-mana kebangkitan ekonomi suatu bangsa sangatlah ditentukan oleh keberadaan dari jumlah golongan menengah di negara yang bersangkutan. Revolusi industri di Inggris pada abad ke-16 dan ke-17 yang juga diikuti oleh negara-negara Eropa lainnya, telah menciptakan golongan menengah yang memberikan kontribusi besar bagi kemajuan bangsa-bangsa di Eropa. Hal yang sama juga telah terjadi di Amerika Serikat, Jepang, Korea, dan sekarang tengah berlangsung di Cina dan India.
Salah satu faktor yang begitu krusial dalam proses pembangunan ekonomi adalah jiwa entrepreneur. Pada akhirnya sosok entrepreneur akan mengilhami bagi hadirnya kelas menengah di Indonesia. Kelas ini merupakan pembuka bagi tumbuhnya lapangan pekerjaan. Tidak bisa dipungkiri, kebanyakan entrepreneur adalah kelas menengah dan bahkan kelas atas dalam perspektif struktur sosial. Di Indonesia para kelas menengah ini menampung hampir 90% angkatan kerja. Secara teoritis, apabila masyarakat Indonesia banyak yang memiliki jiwa entrepreneur, maka akan membidani bagi lahirnya kelas menengah yang lebih banyak pula. Apabila hal itu terjadi, maka lapangan pekerjaan akan terbuka lebar. Akibat positifnya adalah meningkatnya pendapatan perkapita masyarakat
BAB III
PENUTUP
Salah satu kendala yang dihadapi pemerintah dalam mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi adalah kurangnya unit usaha baru. Menurut data dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Indonesia saat ini masih membutuhkan penambahan sekitar 20 juta unit usaha baru atau 20 juta wirausaha baru. Problemnya adalah saat ini Indonesia masih defisit wirausaha. Entrepreneur di Indonesia saat ini diperkirakan baru berjumlah 400.000 orang.
Defisit entrepreneur mengakibatkan kurangnya lapangan pekerjaan yang baru, padahal disatu sisi jumlah angkatan kerja selalu meningkat di setiap tahunnya. Di sisi yang lain, mengembangkan unit usaha baru sekaligus menciptakan wirausaha bukan perkara mudah. Selain persoalan mendasar seperti permodalan, terdapat sejumlah kendala yang menghambat perkembangan calon entrepreneur, seperti prosedur yang berbelit, peraturan daerah yang membelenggu, dan pajak berganda. Namun, itu semua bisa disiasati. Pemerintah pusat, pemerintah daerah, pengusaha, dan akademisi harus terlibat dan bahu-membahu dalam mengembangkan wirausaha. Ini diperlukan agar makin banyak wirausaha di Indonesia yang akan berperan besar dalam meningkatkan kesejahteraan bangsa.
Pengembangan wirausaha merupakan program jangka panjang. Dengan keterlibatan semua pihak, diharapkan pada masa mendatang Indonesia sudah memiliki setidaknya dua persen wirausaha. jiwa kewirausahaan harus ditanamkan sejak sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, dan dilanjutkan sampai di bangku perguruan tinggi. Dengan cara tersebut, minimal mereka sudah mendapatkan pembelajaran mengenai wirausaha selama 16 tahun.
Disisi ekonomi, pembelajaran entrepreneurship akan menghasilkan manusia-manusia yang anti kemiskinan. Manusia yang tekun berusaha pada situasi dan kondisi apapun. Sosok entrepreneur merupakan sumber-sumber pendapatan negara yang dapat diandalkan. Usaha yang dilakukan oleh entrepreneur dapat dikutip pajak dan retribusi untuk kiemudian di distribusikan kepada masyarakat yang lain. Dengan demikian akan timbul pemerataan kesejahteraan. Para entrepreneur juga akan membuka kota-kota baru, menggerakkan pertanian, memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat, menyediakan jasa layanan publik yang berkualitas dan dapat mengentaskan kemiskinan. Pada akhirnya dengan dukungan entrepreneur yang kuat maka struktur ekonomi Indonesia juga akan kokoh.
Namun, pengembangan entrepreneur juga harus diimbangi dengan pemupukan nasionalisme. pengusaha yang tangguh serta berdaya saing tinggi tidaklah cukup. Para entrepreneur harus memiliki komitmen kebangsaan yang tidak diragukan agar kepentingan bersama lebih diutamakan. Syarat kebangsaan dianggap penting mengingat Indonesia telah memasuki perekonomian global sehingga dibutuhkan nasionalisme-ekonomi. Istilah ini merujuk kepada upaya untuk menjaga serta melindungi aset-aset strategis bangsa dan sumber-sumber kemakmuran rakyat yang telah tegas tercantum dalam UUD 1945. Hal ini penting, mengingat pada masa orde baru, modal dikuasai hanya oleh segelintir orang sehingga muncul monopoli dan oligopoli.
Daftar Pustaka
Budiman, Arief. 1996. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Ciputra. 2008. Quantum Leap: Bagaimana entrepreneurship dapat mengubah masa depan anda dan masa depan bangsa. Jakarta:PT Elex Media Komputindo
Rahardjo, M. Dawam.1984. Transformasi Pertanian, Industrialisasi dan Kesempatan Kerja. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia
Siagian, Salim dan Asfahani (ed.). 1995. Kewirausahaan Indonesia dengan Semangat 17-8-45. Jakarta:PT Kloang Klede Jaya bekerjasama dengan Puslatkop dan PK
Tambunan T.H, Tulus.2001. Industrialisasi di Negara Sedang Berkembang: Kasus Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia
Todaro, Michael P. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jakarta: Penerbit Erlangga
Winardi. 2005. Entrepreneur dan Entrepreneurship. Jakarta: Prenada Media
Media
Harian Kompas, 14 Desember 2008
[1] Riedel dalam Tulus T.H Tambunan, Industrialisasi di Negara Sedang Berkembang:Kasus Indonesia (Jakarta:Ghalia Indonesia, 2001) Hal 42
[2] Cheney dalam Tulus T.H Tambunan, ibid
[3] Lihat Michael P. Todaro, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2000) Hal 217
[4] David McClelland dalam Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996) Hal 23
[5] Ibid. Hal 23-24
[6] Hoselitz dalam Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996) Hal 31-32
[7] Dikutip dari harian Kompas, 14 Desember 2008 Hal 22
[8] Holt dalam Winardi, entrepreneur dan entrepreneurship (Jakarta:Prenada Media, 2005) Hal 1
[9] Ibid hal 5
[10] Di AS terdapat sekitar 11% para pengusaha dalam berbagai lapangan pekerjaan, sehingga kegiatan ekonominya maju dan banyak tenaga kerja yang diserap.
[11] Sebagai contoh bisa disebutkan disini bahwasanya pemilik PT.Tiga Serangkai yang bergerak dalam usaha perbukuan nasional, awalnya adalah seorang guru.
[12] Dikutip dari Ciputra, Quantum Leap: Bagaimana entrepreneurship dapat mengubah masa depan anda dan masa depan bangsa (Jakarta:PT Elex Media Komputindo, 2008) Hal 37
[13] Lihat dalam Kewirausahaan Indonesia dengan Semangat 17-8-45 (Jakarta:PT Kloang Klede Jaya bekerjasama dengan Puslatkop dan PK, 1995) Hal 290
[14] Lihat Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga (Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996) Hal 37
[15] Lihat Ciputra, Quantum Leap: Bagaimana Entrepreneurship dapat mengubah masa depan anda dan masa depan bangsa (Jakarta:PT. Elek Media Komputindo, 2008) Hal 72-73
[16] Ibid hal82-83